Oleh:

Hesti Nur Lestari, S.Psi., MBA., Psikolog., LCPCP

Direktur & Founder Hantari Consulting


Apa yang dimaksud dengan Coaching?

Sekarang istilah “coaching” sudah mulai akrab digunakan sebagai salah satu metode untuk pengembangan potensi manusia, baik dalam konteks pengembangan SDM di organisasi, di dunia pendidikan, maupun untuk pengembangan diri secara umum. Organisasi profesi coaching sedunia, yakni International Coaching Federation (ICF) sudah melewati anniversary yang ke-25, dan semakin berkibar, menaungi para professional coach dan organisasi coaching di seluruh dunia.


Apakah Anda termasuk yang masih bertanya, ”Apa sih yang saya maksud dengan “coaching” dan “coach” di sini? Apa bedanya dengan coach tim sepakbola? 

Ada persamaan prinsip dan filosofi antara profesi coach yang saya maksud di sini dengan coach tim sepakbola (atau tim olahraga yang lainnya). Salah satunya, sama-sama punya tujuan mengembangkan potensi para “coachee” (sebutan untuk orang yang di coaching), agar terus menjadi lebih baik dan dapat mencapai apa yang menjadi tujuannya. 

Salah duanya, sama-sama berprinsip: akuntabilitas atau tanggung jawab ada pada coachee. Coach jelas punya tanggung jawab melakukan proses coaching sebaik mungkin untuk mengasah kemampuan coachee, menemani dan mengantar mereka selangkah demi selangkah lebih dekat menuju tujuan yang menjadi targetnya. Tapi, siapa yang harus melakukan pekerjaannya? Coachee. Seperti halnya dalam sepakbola, siapa yang harus kerja keras berlatih? Coachee. Siapa yang harus bertanding? Coachee. Siapa yang kemampuannya berkembang? Coachee. Siapa yang pada akhirnya bisa mencapai tujuan & prestasi? Coachee (walau coach juga dapat imbasnya).

Perbedaan profesi coaching yang saya maksud di sini dengan coach atlit olahraga, terletak pada bidang-bidang penerapan dan metode yang digunakan. ICF memberikan penjelasan tentang coaching sebagai kegiatan “bermitra dengan klien (coachee), dalam proses kreatif dan memprovokasi pikiran yang menginspirasi untuk memaksimalkan potensi personal maupun profesional mereka.” Kegiatan coaching yang dilakukan para professional coach-nya ICF ini tidak mengajak klien (coachee) berlatih di lapangan atau di sasana, tapi cukup duduk bareng di tempat yang nyaman, tenang dan kondusif untuk bertukar pikiran. 

Dilihat sekilas, proses coachingnya mirip dengan konseling atau konsultasi. Memang sama-sama melibatkan proses dialog. Bedanya? Konseling lebih fokus untuk membantu klien agar dapat merasa lebih baik dan bisa memecahkan permasalahan yang mengganggu kondisi mental-psikologis mereka, sehingga dialognya akan lebih banyak membicarakan masa lalu dan masalahnya. Di sisi lain, dalam sesi konsultasi, seorang konsultan menggunakan keahliannya untuk memberikan jawaban dan solusi terbaik atas permasalahan atau isu yang dihadapi klien. 

Sementara itu, dalam proses coaching, penekanan pertama ada pada kata “bermitra”. Jadi seorang coach tidak memposisikan diri sebagai orang yang lebih ahli atau lebih tahu, tapi menyediakan diri sebagai partner, yang akan mendengarkan secara intens dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk “memprovokasi” pikiran coachee, menemani dalam mengeksplorasi apa yang sebenarnya dituju, seperti apa realita yang dihadapi, alternatif solusi apa saja yang tersedia, dan apa yang bisa dilakukan untuk sampai kesana. Karena itu, coaching lebih fokus pada solusi, masa kini dan masa depan, tanpa mengabaikan permasalahan dan masa lalu. Dalam prosesnya, coaching membangun kesadaran diri yang lebih mendalam; tentang makna dari apa yang ingin dicapai, tentang kekuatan dan keterbatasan diri; seringkali menimbulkan perspektif baru dan insight yang sebelumnya belum terpikirkan.  

Dalam pengembangan SDM di organisasi, coaching kini sering didisain untuk melengkapi program pengembangan yang terpadu, paralel dengan pelatihan, mentoring, maupun penugasan-penugasan khusus lainnya. Tiap metode pengembangan memiliki perannya masing-masing. Pelatihan membekali dengan pengetahuan dan keterampilan. Mentoring memberikan kesempatan untuk mendapatkan masukan dari sang ahli atau senior. Penugasan memberikan kesempatan untuk menerapkan apa yang sudah dipelajari ke dalam pengalaman yang nyata. Apa peran coaching? Memberikan ruang untuk mencerna dan memaknai semuanya, serta memasukkannya ke dalam proses mencapai suatu tujuan yang berarti. 


Pengalaman Saya Belajar Coaching

Pada awalnya saya mengenal coaching ini dalam konteks pengembangan SDM di sebuah organisasi (perusahaan atau lembaga). Biasanya yang menjadi coachee (sebutan untuk individu yang di-coaching) adalah para leader, orang-orang yang menduduki posisi kunci, mereka yang sering disebut “talent”, atau menjadi tumpuan harapan bagi kelangsungan organisasi tersebut, sehingga organisasi memang worth it untuk dikembangkan secara khusus. Saya seringkali menemukan mereka adalah orang-orang yang berpendidikan (tinggi) dan punya kapasitas kemampuan berpikir yang memang oke punya. Banyak dari mereka juga tengah menanjak menuju puncak karir, punya ambisi kuat mencapai sukses, punya rekam jejak karir cemerlang, atau paling tidak (dipandang) memiliki potensi yang bagus untuk itu. Tujuan coachingnya pun jelas, untuk menstretch (bahasa halusnya “mengoptimalkan”) kemampuan mereka, yang ujung-ujungnya peningkatan kinerja bagi organisasinya. 

Meskipun saya sendiri sering bilang bahwa coaching adalah skills yang bisa diterapkan di mana saja, untuk siapa saja, dan kapan saja, di dalam hati kecil saya sebenarnya sering bertanya-tanya, apakah coaching itu efektif hanya untuk mereka yang sedang menanjak karirnya? Apakah coaching itu bisa berdampak kuat hanya untuk mereka yang punya motivasi untuk berprestasi yang kuat? Apakah coaching berhasil hanya untuk mereka dengan potensi di atas rata-rata? Apakah coaching itu paling cocok hanya untuk sang talent tumpuan harapan organisasinya? Bagaimana dengan yang lainnya, di luar itu? 

Saya kemudian memutuskan untuk mempelajari coaching secara lebih mendalam di Loop Institute of Coaching, dengan mengikuti Loop Certified Professional Coach Program (CPCP), di tahun 2018. Awalnya saya menyangka ini adalah training ‘biasa’, dalam arti ada sesi-sesi di dalam kelas, ditambah beberapa penugasan untuk mendapat sertifikat, sehingga berpikir bisa menyelipkannya dengan gampang di sela-sela aktivitas yang sudah ada. Apalagi toh sebelumnya saya (merasa) sudah cukup familiar dengan coaching. How hard can it be? 

O-oh, ternyata saya salah. Program ini bukan training ‘biasa’; bukan sekadar acara duduk manis-menyimak-makan-cemilan-diselingi-canda dan sedikit aktivitas. Tidak sekadar mendengarkan sharing dari para suhu dan komentar mentor yang mengiringi kami para peserta yang saling mengcoach satu sama lain. 

Jauh dari itu. 

Ini adalah program pembentukan mindset, nafas, otot-otot, kebiasaan, juga emosi, karakter, intuisi, bahkan impian, untuk menjadi seorang professional coach. Dalam puluhan coaching hours, di setiap jamnya saya melalui diskusi dan eksplorasi mendalam bersama sahabat coachee saya, tidak hanya tentang tujuan dan rencana aksi yang menantang, tapi juga tentang makna, nilai-nilai, keyakinan dan prinsip hidup; tentang kebenaran yang dirasakan seorang manusia mengenai keberadaannya di dunia. Kenyataannya, saya yang belajar dari kekayaan hidup dan pustaka jiwa para coachee saya. 

Dari setiap sesinya, saya belajar tentang kekuatan coaching untuk mengeluarkan berbagai sisi kemanusiaan individu, mulai dari sisi-sisi yang optimistis dan mengidamkan aktualisasi bagi potensinya; yang tengah meragu dalam gundah menentukan yang terbaik bagi jalannya; yang tengah memimpikan hal terbaik untuk diri sendiri maupun terkasihnya, hingga yang tergugu mengakui sisi terdalamnya yang tidak pernah terselami sebelumnya. Kadang saya suka gatal ingin mencobakan pendekatan coaching juga kepada mereka yang secara resmi bukan menjadi coachee saya, yang saya temui di beragam peristiwa. 

Saya pun mulai merambahi pengalaman coaching untuk demografi yang sangat beragam, di luar kalangan talents organisasi. Mulai dari jagoan kecil yang ingin masuk sekolah favoritnya, pelajar yang sedang mencari beasiswa, mahasiswa yang kritis, ibu rumah tangga yang beraspirasi, profesional yang ingin berganti jalur karir, hingga pegawai yang di ambang masa pensiun. Mulai dari kaum kosmopolitan hingga penghuni daerah terpencil nun di pedalaman. Mulai dari perintis bisnis, pengembang unit kerja, pendamba cinta, orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, hingga penghapal Al Qur’an. 

Masing-masing perjalanannya tidak jarang terasa begitu sulit, dan saya ikut merasa vulnerable. Kadang saya menepok jidat dalam imajinasi saya sambil berkata “Mati aku, susah banget goalnya!” saat coachee saya berbagi tentang tujuan yang ingin diraihnya. Betul-betul saya merasakan bukan sebagai expert di situ, namun saya merasa mendapatkan privilege, kehormatan untuk ada di sisi mereka dan menjadi partner diskusi dalam perjalanan yang bermakna bagi mereka. Karenanya, saya pun mengerahkan keberanian, melepaskan kendali dan menyerah kepada proses coaching yang berjalan. Satu persatu pikiran terurai, realita dan harapan terungkap secara sistematis, kesadaran terbangun dan rencana aksi pun tersusun. Yang tidak diketahui coachee saya adalah, saat mereka lega karena telah menemukan keselarasan dengan tujuan mereka, di akhir sesi coaching saya juga merasa lega, dan bersyukur. Rasanya seperti seorang petugas yang berhasil mengawal VIP-nya hingga ke suatu tujuan.

Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa, sebagai coach, yang terbaik yang bisa kita berikan kepada coachee kita adalah kehadiran diri kita sepenuhnya: indra, pikiran dan hati, yang meskipun singkat durasinya, namun semoga bermakna dalam perjalanan mereka. Siapapun coachee yang dihadapi, tarik napas panjang, lepaskan dan siap menyelam bersama coachee. Saya percaya, coaching does help, siapa pun coacheenya, apa pun tujuannya, karena coaching adalah bahasa cinta, yang bisa kita berikan, untuk semua.